12 Januari 2022, 14: 30: 59 WIB | editor : Fendy Hermansyah
BERTALENTA: Yulia Maghfiroh berswafoto bersama Bupati Mojokerto, Ikfina Fahmawati di depan karyanya yang ikut pameran seni rupa Jenggelek Tangi Melek #7 di kantor Jawa Pos Radar Mojokerto, Selasa (4/1). (Belinda for jawaposradarmojokerto.id)
Share this
Kekurangan fisik tidak selamanya menjadi hambatan dalam berkarya. Bahkan karya seni pun bisa terukir indah jika memang memiliki bakat dan terus diasah hingga membuahkan prestasi.
FARISMA ROMAWAN, KOTA, Jawa Pos Radar Mojokerto
USIANYA memang sudah tidak lagi belia. 40 tahun menjadi angka yang matang bagi seseorang dalam mengarungi kehidupan. Namun dilihat dari wajahnya, Yulia Maghfiroh masih tampak sangat ceria dan muda.
Baca juga: Kalau Kakinya Sudah Menggantung Langsung Dipinggirkan
Tak tersirat raut kesedihan kala dalam aktivitas kesehariannya. Namun berbeda cerita kala ia sedang berkarya, khususnya saat melukis. Keseriusan menjadi hal yang tak bisa disembunyikan kala wanita asal Kelurahan Wates, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto menuangkan cat ke kanvas.
Selain serius, ia juga sangat detail dan rajin dalam menggoreskan kuas sesuai warna yang dikehendaki. Hal inilah yang diakui orang disekelilingnya sebagai kelebihannya. Padahal, secara fisik, ia tampak tak biasa.
Ya, Lia, sapaan akrabnya memang memiliki keterbatasan fisik, khususnya soal pendengaran dan pengucapan atau bicara. Hal ini tak lepas dari kecelakaan yang dialami saat kelahirannya 21 Juni 1980 lalu. Akan tetapi, sejauh pertumbuhannya hingga dewasa, justru yang tampak adalah kelebihannya dalam berkarya, khususnya melukis.
Ketajaman daya ingat dan imajinasi yang luas menjadi modal utama Lia berkesenian. ’’Mungkin karena keterbatasan pendengaran dan berbicara itu, justru daya ingatnya yang semakin kuat. Bahkan sejak usia sekolah TK dan SD, dia selalu juara. Dan dari situlah, dia sering diajak lomba oleh gurunya dan sering menang. Termasuk menggambar dan melukis yang ditekuni saat ini,’’ terang ibunda Yulia, Chusnul Amiroh. Kemahiran Lia dalam melukis diakui Chusnul datang dengan sendirinya alias otodidak.
Tidak ada pelukis atau guru yang menuntunnya dalam berkesenian. Chusnul hanya bisa memfasilitasi cat dan kanvas sebagai media menggambar. Bahkan, untuk sekedar memberikan inspirasi dalam melukis, Lia tanpa perlu riset ataupun pendalaman. Bermodalkan daya ingat, ia sudah bisa melukiskan sebuah landscape panorama alam maupun still life. Gaya-gaya realis sangat mendominasi karya yang sudah dihasilkan Yulia.
’’Pernah kami carikan guru pendamping, tapi malah tidak nurut. Akhirnya kami bebaskan dia melukis sesuai imajinasinya sendiri dan tanpa paksaan. Lebih banyak memang lukisan pemandangan yang dia pikirkan sendiri,’’ tandasnya.
Atas karyanya itu, Yulia sempat dinobatkan sebagai juara satu Lomba Melukis Tingkat Nasional di ajang Abilimpik atau kejuaraan seni khusus penyandang disabilitas nasional IV tahun 2007.
Dari situ, namanya kian dikenal hingga di tingkat daerah maupun provinsi. Berbagai pameran seni rupa di dalam maupun luar Mojokerto sempat ia ikuti. Tak jarang, karyanya dihargai hingga puluhan juta rupiah.
Termasuk kala mengikuti pameran seni rupa Jenggelek Tangi Melek #7 yang berlangsung di kantor Jawa Pos Radar Mojokerto 4 hingag 10 Januari kemarin. ’’Dari Abilimpik itu, dia banyak kenalan dengan pelukis lain dan ikut pameran. Beberapa karyanya pernah dibeli Pak Kiai Ud (Wali Kota Mojokerto Masud Yunus, Red) dan menteri Sosial,’’ pungkasnya. (fen)
(mj/far/fen/JPR)
Dibayangi Ketakutan, Warga Ramai-Ramai Lihat Aliran Sungai
Satu Ruangan Dua Kelas, Siswa Sering Dikira Masih SD