atau cari berdasarkan hari
INFO NASIONAL – Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) konsisten mengawal Pemerintah dan DPR membuat perbaikan terhadap Undang Undang Cipta Kerja (UUCK). “Setelah mendengar keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), kami akan mempercepat asesemen, mempercepat revisi, dan mengakodomir perjuangan kami,” ujar Direktur KPPOD, Herman Suparman, Jumat, 17 Desember 2021.
Putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memberi batas waktu selama dua tahun kepada Pemerintah dan DPR untuk merevisi UUCK. Pada kurun waktu tersebut, Pemerintah menyatakan seluruh regulasi turunan dari UUCK tetap berlaku.
KPPOD menemukan sejumlah peraturan pemerintah hasil perpanjangan UUCK belum sesuai, sehingga patut direvisi. Bahkan sebelum putusan MK terbit, lembaga pemantau independen ini telah melakukan advokasi serta melobi pemerintah dalam perbaikan kebijakan tersebut.
Tiga rancangan peraturan yang menjadi fokus KPPOD adalah Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Perizinan Berusaha di Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Mendukung Kemudahan Berusaha dan Pelayanan Daerah.
Pada PP 5/2021 KPPOD merekomendasikan agar pemerintah melibatkan pemangku kepentingan daerah, termasuk pemerintah daerah, ahli bersertifikat, dan masyarakat yang terkena dampak dalam menganalisis dan menentukan tingkat risiko.KPPOD mendorong regulasi untuk mencantumkan jangka waktu dalam pemberitahuan persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha dalam sistem Online Single Submission (OSS).
Dari hasil kajian pada PP 6/2021 ditemukan bahwa peraturan tersebut belum memberi kepastian hukum terkait kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI). KPPOD merekomendasikan agar RPP mengatur ketentuan afirmatif bagi kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas dan lanjut usia, dalam proses perizinan berusaha dengan menggunakan sistem berbasis elektronik yang terintegrasi. Meskipun Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang melayani proses perizinan telah memberikan ruang dan pendampingan bagi kelompok-kelompok tersebut, KPPOD merekomendasikan agar RPP juga memberikan kepastian bagi kelompok rentan saat mengakses berbasis elektronik.
Sedangkan untuk PP 10/2021 KPPOD meminta agar pemerintah daerah terlibat langsung dalam proses retribusi, karena mereka yang langsung terkena dampak fiskal. Sebaga itu, Kementerian Keuangan dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga teknis terkait untuk percepatan pelaksanaan program strategis nasional di daerah.
Perhatian KPPOD terhadap tiga peraturan tersebut sesuai dengan visi misi sejak pembentukan lembaga itu 20 tahun lalu. Di era reformasi terjadi perubahan sistem sentralisasi ke otonomi daerah. Sejumlah tokoh dari kalangan dunia usaha, akademisi, dan media massa, memandang perlunya pemantau yang berbasis kajian, maka dibentuklah KPPOD.
“KPPOD diharapkan menjadi mitra pemerintah pusat dan pemda, mitra dunia usaha, mitra akademisi, mitra masyarakat sipil untuk mendorong tata kelola ekonomi daerah dengan beberapa turunan isu, yakni isu reformasi regulasi, isu birokrasi, serta isu keuangan dan kapasitas fiskal daerah,” tutur Herman Suparmand, atau acap disapa Armand.
KPPOD kemudian membuat Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang diterbitkan tiap tahun, serta menjadi basis kajian untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang menjadi masukan penting terhadap turunnya kebijakan. Hingga 2019 KPPOD tetap menerbitkan hasil kajian terhadap peraturan daerah (perda), terutama yang terkait dengan sektor ekonomi seperti pajak dan retribusi, perda ketenagakerjaan, serta perda perizinan.
KPPOD menjalankan dua strategi agar tercipta pembaruan dalam perda, maupun yang terakhir terkait tiga PP turunan dari UUCK. Pertama, langkah formal dengan memberi masukan melalui website milik pemerintah. Dapat juga melalui diskusi publik yang melibatkan pemerintah dan masyarakat, termasuk kalangan akademisi dan praktisi.
Kedua melalui jalur informal, yakni memanfaatkan kedekatan KPPOD dengan para pejabat di lingkungan kementerian yang berwenang. Strategi ini sangat penting ketika memberi masukan dari hasil kajian terkait PP turunan UUCK. “Misalnya dengan menelepon langsung ke Direktorat Jenderal di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri), atau melalui Whatsapp. Bisa juga jalur pribadi atau ketemu langsung,” kata Armand.
Menurut dia, langkah informal cukup tinggi menyumbang keberhasilan agar terjadi perbaikan dalam peraturan yang akan diterbitkan. “Kami ada hubungan baik dan jaringan dengan Kemendagri. Setelah dapat draft-nya (Rancangan Peraturan Pemerintah/RPP) kita kaji dan langsung kita sampaikan pada Dirjen. Kalau tunggu final (hasil PP) terlalu lama, karena draft berubah setiap hari, jadi kami upayakan dapat setiap hari,” ucapnya.
Ada satu lagi strategi yang akan diterapkan dalam mengawal revisi regulasi turunan UUCK, maupun perbaikan pasal-pasal dalam UUCK. “Kami melibatkan kementerian, pemda, dunia usaha dari mulai desain riset. Setelah hasilnya terbit, KPPOD akan mengadakan diskusi media agar isu tersebut berbunyi dulu (atau menjadi perhatian publik). Kalau sudah muncul di media, selanjutnya akan mulus, lebih diperhatikan oleh pemerintah,” tutur Armand.
Di tingkat daerah, Armand melanjutkan, KPPOD akan mengembangkan hasil TKED 2020 menjadi indeks daya saing daerah berkelanjutan. Di dalamnya memuat pilar lingkungan, sosial, tata kelola, dan ekonomi. “Ini untuk melengkapi advokasi KPPOD terhadap kemudahan dan kepastian berusaha. Kita juga menindaklanjuti fokus dunia terhadap isu lingkungan. Ini peluang kita untuk advokasi daya saing daerah berkelanjutan,” katanya. (*)
Baru-baru ini banyak misinformasi menyebar soal varian baru Covid-19. Namun istilah Delmicron disebut datang dari teori yang gegabah.
Tempo Media Group © 2017